Syekh
Abdul Qadir al-Jaylani merupakan tokoh sufi paling masyhur di
Indonesia. Peringatan Haul waliyullah ini pun selalu dirayakan setiap
tahun oleh umat Islm Indonesia. Tokoh yang diyakini sebagai cikal bakal
berdirinya Tarekat Qadiriyah ini lebih dikenal masyarakat lewat
cerita-cerita karamahnya dibandingkan ajaran spiritualnya.Terlepas dari
pro dan kontra atas kebenaran karamahnya, Biografi (manaqib) tentangnya
sering dibacakan dalam majelis yang dikenal di masyarakat dengan
sebutan manaqiban.
Nama lengkapnya adalah Abdul Qadir ibn Abi Shalih Abdullah Janki Dusat
al-Jaylani. Al-Jaylani merupakan penisbatan pada Jil, daerah di
belakang Tabaristan. Di tempat itulah ia dilahirkan. Selain Jil, tempat
ini disebut juga dengan Jaylan dan Kilan.
NASAB
Sayyid Abu Muhammad Abdul Qadir dilahirkan di Naif, Jailan, Iraq, pada
bulan Ramadhan 470 H, bertepatan dengan th 1077 M. Ayahnya bernama
Shahih, seorang yang taqwa keturunan Hadhrat Imam Hasan, r.a., cucu
pertama Rasulullah saw, putra sulung Imam Ali ra dan Fatimah r.a.,
puteri tercinta Rasul. Ibu beliau adalah puteri seorang wali, Abdullah
Saumai, yang juga masih keturunan Imam Husein, r.a., putera kedua Ali
dan Fatimah. Dengan demikian, Sayid Abdul Qadir adalah Hasaniyin
sekaligus Huseiniyin.
MASA MUDA
Sejak kecil, ia pendiam, nrimo, bertafakkur dan sering melakukan agar
lebih baik, apa yang disebut 'pengalaman-pengalaman mistik'. Ketika
berusia delapan belas tahun, kehausan akan ilmu dan keghairahan untuk
bersama para orang saleh, telah membawanya ke Baghdad, yang kala itu
merupakan pusat ilmu dan peradaban. Kemudian, beliau digelari orang
Ghauts Al-A’dzam atau wali Ghauts terbesar.
Dalam terminologi kaum sufi, seorang Ghauts menduduki jenjang ruhaniah
dan keistimewaan kedua dalam hal memohon ampunan dan ridha Allah bagi
ummat manusia setelah para nabi. Seorang ulama' besar di masa kini,
telah menggolongkannya ke dalam Shaddiqin, sebagaimana sebutan Al
Qur'an bagi orang semacam itu. Ulama ini mendasarkan pandangannya pada
peristiwa yang terjadi pada perjalanan pertama Sayyid Abdul Qadir ke
Baghdad.
Diriwayatkan bahwa menjelang keberangkatannya ke Baghdad, ibunya yang
sudah menjanda, membekalinya delapan puluh keping emas yang dijahitkan
pada bagian dalam mantelnya, persis di bawah ketiaknya, sebagai bekal.
Uang ini adalah warisan dari almarhum ayahnya, dimaksudkan untuk
menghadapi masa-masa sulit. Kala hendak berangkat, sang ibu diantaranya
berpesan agar jangan berdusta dalam segala keadaan. Sang anak berjanji
untuk senantiasa mencamkan pesan tersebut.
Begitu kereta yang ditumpanginya tiba di Hamadan, menghadanglah
segerombolan perampok. Kala menjarahi, para perampok sama sekali tak
memperhatikannya, karena ia tampak begitu sederhana dan miskin.
Kebetulan salah seorang perampok menanyainya apakah ia mempunyai uang
atau tidak. Ingat akan janjinya kepada sang ibu, si kecil Abdul Qadir
segera menjawab: "Ya, aku punya delapan puluh keping emas yang
dijahitkan di dalam baju oleh ibuku." Tentu saja para perampok
terperanjat keheranan. Mereka heran, ada manusia sejujur ini.
Mereka membawanya kepada pemimpin mereka, lalu menanyainya, dan
jawabannya pun sama. Begitu jahitan baju Abdul Qadir dibuka,
didapatilah delapan puluh keping emas sebagaimana dinyatakannya. Sang
kepala perampok terhenyak kagum. Ia kisahkan segala yang terjadi antara
dia dan ibunya pada saat berangkat, dan ditambahkannya jika ia
berbohong, maka akan tak bermakna upayanya menimba ilmu agama.
Mendengar hal ini, menangislah sang kepala perampok, jatuh terduduk di
kali Abdul Qadir, dan menyesali segala dosa yang pernah dilakukan.
Diriwayatkan, bahwa kepala perampok ini adalah murid pertamanya.
Peristiwa ini menunjukkan proses menjadi Shiddiq. Andaikata ia tak
benar, maka keberanian kukuh semacam itu demi kebenaran, dalam
saat-saat kritis, tak mungkin baginya.
BELAJAR DI BAGHDAD
Selama belajar di Baghdad, karena sedemikian jujur dan murah hati, ia
terpaksa mesti tabah menderita. Berkat bakat dan kesalehannya, ia cepat
menguasai semua ilmu pada masa itu. Ia membuktikan diri sebagai ahli
hukum terbesar di masanya. Tetapi, kerinduan ruhaniahnya yang lebih
dalam gelisah ingin mewujudkan diri. Bahkan di masa mudanya, kala
tenggelam dalam belajar, ia gemar musyahadah*).
Ia sering berpuasa, dan tak mau meminta makanan dari seseorang, meski
harus pergi berhari-hari tanpa makanan. Di Baghdad, ia sering menjumpai
orang-orang yang berfikir serba ruhani, dan berintim dengan mereka.
Dalam masa pencarian inilah, ia bertemu dengan Hadhrat Hammad, seorang
penjual sirup, yang merupakan wali besar pada zamannya.
Lambat laun wali ini menjadi pembimbing ruhani Abdul Qadir. Hadhrat
Hammad adalah seorang wali yang keras, karenanya diperlakukannya
sedemikian keras sufi yang sedang tumbuh ini. Namun calon ghauts ini
menerima semua ini sebagai koreksi bagi kecacatan ruhaninya.
LATIHAN-LATIHAN RUHANIAH
Setelah menyelesaikan studinya, ia kian keras terhadap diri. Ia mulai
mematangkan diri dari semua kebutuhan dan kesenangan hidup. Waktu dan
tenaganya tercurah pada shalat dan membaca Qur'an suci. Shalat
sedemikian menyita waktunya, sehingga sering ia shalat shubuh tanpa
berwudhu lagi, karena belum batal.
Diriwayatkan pula, beliau kerapkali khatam membaca Al-Qur'an dalam satu
malam. Selama latihan ruhaniah ini, dihindarinya berhubungan dengan
manusia, sehingga ia tak bertemu atau berbicara dengan seorang pun.
Bila ingin berjalan-jalan, ia berkeliling padang pasir. Akhirnya ia
tinggalkan Baghdad, dan menetap di Syustar, dua belas hari perjalanan
dari Baghdad. Selama sebelas tahun, ia menutup diri dari dunia. Akhir
masa ini menandai berakhirnya latihannya. Ia menerima nur yang
dicarinya. Diri-hewaninya kini telah digantikan oleh wujud mulianya.
DICOBA IBLIS
Suatu peristiwa terjadi pada malam babak baru ini, yang diriwayatkan
dalam bentuk sebuah kisah. Kisah-kisah serupa dinisbahkan kepada semua
tokoh keagamaan yang dikenal di dalam sejarah; yakni sebuah kisah
tentang penggodaan. Semua kisah semacam itu memaparkan secara
perlambang, suatu peristiwa alamiah dalam kehidupan.
Misal, tentang bagaimana nabi Isa as digoda oleh Iblis, yang membawanya
ke puncak bukit dan dari sana memperlihatkan kepadanya
kerajaan-kerajaan duniawi, dan dimintanya nabi Isa a.s., menyembahnya,
bila ingin menjadi raja dari kerajaan-kerajaan itu. Kita tahu jawaban
beliau, sebagai pemimpin ruhaniah. Yang kita tahu, hal itu merupakan
suatu peristiwa perjuangan jiwa sang pemimpin dalam hidupnya.
Demikian pula yang terjadi pada diri Rasulullah saw. Kala beliau kukuh
berdakwah menentang praktek-praktek keberhalaan masyarakat dan
musuh-musuh beliau, para pemimpin Quraisy merayunya dengan kecantikan,
harta dan tahta. Dan tak seorang Muslim pun bisa melupakan jawaban
beliau: "Aku sama sekali tak menginginkan harta ataupun tahta. Aku
telah diutus oleh Allah sebagai seorang Nadzir**) bagi umat manusia,
menyampaikan risalah-Nya kepada kalian. Jika kalian menerimanya, maka
kalian akan bahagia di dunia ini dan di akhirat kelak. Dan jika kalian
menolak, tentu Allah akan menentukan antara kalian dan aku."
Begitulah gambaran dari hal ini, dan merupakan fakta kuat kemaujudan
duniawi. Berkenaan dengan hal ini, ada dua versi kisah tentang Syaikh
Abdul Qadir Jailani. Versi pertama mengisahkan, bahwa suatu hari Iblis
menghadapnya, memperkenalkan diri sebagai Jibril, dan berkata bahwa ia
membawa Buraq dari Allah, yang mengundangnya untuk menghadap-Nya di
langit tertinggi.
Sang Syaikh segera menjawab bahwa si pembicara tak lain adalah si
Iblis, karena baik Jibril maupun Buraq takkan datang ke dunia bagi
selain Nabi Suci Muhammad saw. Setan toh masih punya cara lain,
katanya: "Baiklah Abdul Qadir, engkau telah menyelamatkan diri dengan
keluasan ilmumu." "Enyahlah!, bentak sang wali." Jangan kau goda aku,
bukan karena ilmuku, tapi karena rahmat Allahlah aku selamat dari
perangkapmu".
Versi kedua mengisahkan, ketika sang Syaikh sedang berada di rimba
belantara, tanpa makanan dan minuman, untuk waktu yang lama, awan
menggumpal di angkasa, dan turunlah hujan. Sang Syaikh meredakan
dahaganya. Muncullah sosok terang di cakrawala dan berseru: "Akulah
Tuhanmu, kini Kuhalalkan bagimu segala yang haram." Sang Syaikh
berucap: "Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk."
Sosok itu pun segera pergi berubah menjadi awan, dan terdengar berkata:
"Dengan ilmumu dan rahmat Allah, engkau selamat dari tipuanku."
Lalu setan bertanya tentang kesigapan sang Syaikh dalam mengenalinya.
Sang Syaikh menyahut bahwa pernyataannya menghalalkan segala yang
haramlah yang membuatnya tahu, sebab pernyataan semacam itu tentu bukan
dari Allah.
Kedua versi ini benar, yang menyajikan dua peristiwa berlainan secara
perlambang. Satu peristiwa dikaitkan dengan perjuangannya melawan
kebanggaan akan ilmu. Yang lain dikaitkan dengan perjuangannya melawan
kesulitan-kesulitan ekonomi, yang menghalangi seseorang dalam
perjalanan ruhaniahnya.
Kesadaran aka kekuatan dan kecemasan akan kesenangan merupakan
kelemahan terakhir yang mesti enyah dari benak seorang salih. Dan
setelah berhasil mengatasi dua musuh abadi ruhani inilah, maka orang
layak menjadi pemimpin sejati manusia.
PANUTAN MASYARAKAT
Kini sang Syaikh telah lulus dari ujian-ujian tersebut. Maka semua
tutur kata atau tegurannya, tak lagi berasal dari nalar, tetapi berasal
dari ruhaninya.
Kala ia memperoleh ilham, sebagaimana sang Syaikh sendiri ingin
menyampaikannya, keyakinan Islami melemah. Sebagian muslim terlena
dalam pemuasan jasmani, dan sebagian lagi puas dengan ritus-ritus dan
upacara-upacara keagamaan. Semangat keagamaan tak dapat ditemui lagi.
Pada saat ini, ia mempunyai mimpi penting tentang masalah ini. Ia
melihat dalam mimpi itu, seolah-olah sedang menelusuri sebuah jalan di
Baghdad, yang di situ seorang kurus kering sedang berbaring di sisi
jalan, menyalaminya.
Ketika sang Syaikh menjawab ucapan salamnya, orang itu memintanya untuk
membantunya duduk. Begitu beliau membantunya, orang itu duduk dengan
tegap, dan secara menakjubkan tubuhnya menjadi besar. Melihat sang
Syaikh terperanjat, orang asing itu menentramkannya dengan kata-kata: "
Akulah agama kakekmu, aku menjadi sakit dan sengsara, tetapi Allah
telah menyehatkanku kembali melalui bantuanmu."
Ini terjadi pada malam penampilannya di depan umum di masjid, dan
menunjukkan karir mendatang sang wali. Kemudian masyarakat tercerahkan,
menamainya Muhyiddin, 'pembangkit keimanan', gelar yang kemudian
dipandang sebagai bagian dari namanya yang termasyhur. Meski telah ia
tinggalkan kesendiriannya (uzlah), ia tak jua berkhutbah di depan umum.
Selama sebelas tahun berikutnya, ia mukim di sebuah sudut kota, dan
meneruskan praktek-praktek peribadatan, yang kian mempercerah
ruhaniyah.
KEHIDUPAN RUMAH TANGGA
Menarik untuk dicatat, bahwa penampilannya di depan umum selaras dengan
kehidupan perkawinannya. Sampai tahun 521 H, yakni pada usia kelima
puluh satu, ia tak pernah berpikir tentang perkawinannya. Bahkan ia
menganggapnya sebagai penghambat upaya ruhaniyahnya. Tetapi, begitu
beliau berhubungan dengan orang-orang, demi mematuhi perintah Rasul dan
mengikuti Sunnahnya, ia pun menikahi empat wanita, semuanya saleh dan
taat kepadanya. Ia mempunyai empat puluh sembilan anak - dua puluh
putra, dan yang lainnya putri.
Empat putranya yang termasyhur akan kecendekian dan kepakarannya, al:
Syaikh Abdul Wahab, putera tertua adalah seorang alim besar, dan
mengelola madrasah ayahnya pada tahun 543 H. Sesudah sang wali wafat,
ia juga berkhutbah dan menyumbangkan buah pikirannya, berkenaan dengan
masalah-masalah syariat Islam. Ia juga memimpin sebuah kantor negara,
dan demikian termasyhur.
Syaikh Isa, ia adalah seorang guru hadits dan seorang hakim besar.
Dikenal juga sebagai seorang penyair. Ia adalah seorang khatib yang
baik, dan juga Sufi. Ia mukim di Mesir, hingga akhir hayatnya.
Syaikh Abdul Razaq. Ia adalah seorang alim, sekaligus penghafal hadits.
Sebagaimana ayahnya, ia terkenal taqwa. Ia mewarisi beberapa
kecenderungan spiritual ayahnya, dan sedemikian masyhur di Baghdad,
sebagaimana ayahnya.
Syaikh Musa. Ia adalah seorang alim terkenal. Ia hijrah ke Damaskus, hingga wafat.
Tujuh puluh delapan wacana sang wali sampai kepada kita melalui Syaikh
Isa. Dua wacana terakhir, yang memaparkan saat-saat terakhir sang wali,
diriwayatkan oleh Syaikh Wahab. Syaikh Musa termaktub pada wacana ke
tujuh puluh sembilan dan delapan puluh. Pada dua wacana terakhir nanti
disebutkan, pembuatnya adalah Syaikh Abdul Razaq dan Syaikh Abdul Aziz,
dua putra sang wali, dengan diimlakkan oleh sang wali pada saat-saat
terakhirnya.
KESEHARIANNYA
Sebagaimana telah kita saksikan, sang wali bertabligh tiga kali dalam
seminggu. Di samping bertabligh setiap hari, pada pagi dan malam hari,
ia mengajar tentang Tafsir Al Qur'an, Hadits, Ushul Fiqih, dan mata
pelajaran lain. Sesudah Dhuhur, ia memberikan fatwa atas
masalah-masalah hukum, yang diajukan kepadanya dari segenap penjuru
dunia. Sore hari, sebelum sholat Maghrib, ia membagi-bagikan roti
kepada fakir miskin. Sesudah sholat Maghrib, ia selalu makan malam,
karena ia berpuasa sepanjang tahun. Sebalum berbuka, ia menyilakan
orang-orang yang butuh makanan di antara tetangga-tetangganya, untuk
makan malam bersama. Sesudah sholat Isya', sebagaimana kebiasaan para
wali, ia mengaso di kamarnya, dan melakukan sebagian besar waktu
malamnya dengan beribadah kepada Allah - suatu amalan yang dianjurkan
Qur'an Suci. Sebagai pengikut sejati Nabi, ia curahkan seluruh waktunya
di siang hari, untuk mengabdi ummat manusia, dan sebagian besar waktu
malam dihabiskan untuk mengabdi Penciptanya.
Pengaruh dan Karya
Waktunya banyak diisi dengan meengajar dan bertausyiah. Hal ini membuat
Syekh tidak memiliki cukup waktu untuk menulis dan mengarang. Bahkan,
bisa jadi beliau tidak begitu tertarik di bidang ini. Pada tiap
disiplin ilmu, karya-karya Islam sudah tidak bisa dihitung lagi.
Bahkan, sepertinya perpustakaan tidak butuh lagi diisi buku baru. Yang
dibutuhkan masyarakat justru saran seorang yang bisa meluruskan yang
bengkok dan membenahi kesalahan masyarakat saat itu. Inilah yang
memanggil suara hati Syekh. Ini pula yang menjelaskan pada kita mengapa
tidak banyak karya yang ditulis Syekh.
Memang ada banyak buku dan artikel yang diklaim sebagai tulisannya. Namun, yang disepakati sebagai karya syekh hanya ada tiga:
1.Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq merupakan karyanya yang
mengingatkan kita dengan karya monumental al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum
al-Din. Karya ini jelas sekali terpengaruh, baik tema maupun gaya
bahasanya, dengan karya al-Ghazali itu. Ini terlihat dengan
penggabungan fikih, akhlak, dan prinsip suluk. Ia memulai dengan
membincangkan aspek ibadah, dilanjutkan dengan etika Islam, etika doa,
keistimewaan hari dan bulan tertentu. Ia kemudian membincangkan juga
anjuran beribadah sunah, lalu etika seorang pelajar, tawakal, dan
akhlak yang baik.
2.Al-Fath al-Rabbani wa al-Faydh al-Rahmani merupakan bentuk tertulis
(transkripsi) dari kumpulan tausiah yang pernah disampaikan Syekh. Tiap
satu pertemuan menjadi satu tema. Semua pertemuan yang dibukukan ada
62 kali pertemuan. Pertemuan pertama pada 3 Syawal 545 H. Pertemuan
terakhir pada hari Jumat, awal Rajab 546 H. Jumlah halamannya mencapai
90 halaman. Format buku ini mirip dengan format pengajian Syekh dalam
berbagai majelisnya. Sebagiannya bahkan berisi jawaban atas persoalan
yang muncul pada forum pengajian itu.
3.Futuh al-Ghayb merupakan kompilasi dari 78 artikel yang ditulis Syekh
berkaitan dengan suluk, akhlak, dan yang lain. Tema dan gaya bahasanya
sama dengan al-Fath al-Rabbani. Keseluruhan halamannya mencapai 212
halaman. Buku ini sendiri sebetulnya hanya 129 halaman. Sisa halamannya
diisi dengan himpunan senandung pujian yang dinisbatkan pada Syekh.
Ibn Taymiyah juga memuji buku ini.
Kesaksian Ulama
Syekh Junaid al-Baghdadi, hidup 200 tahun sebelum kelahiran Syekh Abdul
Qadir. Namun, pada saat itu ia telah meramalkan akan kedatangan Syekh
Abdul Qadir Jailani. Suatu ketika Syekh Junaid al-Baghdadi sedang
bertafakur, tiba-tiba dalam keadaan antara sadar dan tidak, ia berkata,
“Kakinya ada di atas pundakku! Kakinya ada di atas pundakku!”
Setelah ia tenang kembali, murid-muridnya menanyakan apa maksud ucapan
beliau itu. Kata Syekh Junaid al-Baghdadi, "Aku diberitahukan bahwa
kelak akan lahir seorang wali besar, namanya adalah Abdul Qadir yang
bergelar Muhyiddin. Dan pada saatnya kelak, atas kehendak Allah, ia
akan mengatakan, ‘Kakiku ada di atas pundak para Wali."
Syekh Abu Bakar ibn Hawara, juga hidup sebelum masa Syekh Abdul Qadir.
Ia adalah salah seorang ulama terkemuka di Baghdad. Konon, saat ia
sedang mengajar di majelisnya, ia berkata:
"Ada 8 pilar agama (autad) di Irak, mereka itu adalah; 1) Syekh Ma'ruf
al Karkhi, 2) Imam Ahmad ibn Hanbal, 3) Syekh Bisri al Hafi, 4) Syekh
Mansur ibn Amar, 5) Syekh Junaid al-Baghdadi, 6) Syekh Siri as-Saqoti,
7) Syekh Abdullah at-Tustari, dan 8) Syekh Abdul Qadir Jailani."
Ketika mendengar hal itu, seorang muridnya yang bernama Syekh Muhammad
ash-Shanbaki bertanya, "Kami telah mendengar ke tujuh nama itu, tapi
yang ke delapan kami belum mendengarnya. Siapakah Syekh Abdul Qadir
Jailani?"
Maka Syekh Abu Bakar pun menjawab, "Abdul Qadir adalah shalihin yang
tidak terlahir di Arab, tetapi di Jaelan (Persia) dan akan menetap di
Baghdad."
Qutb al Irsyad Abdullah ibn Alawi al Haddad (1044-1132 H), dalam
kitabnya Risalatul Mu'awanah menjelaskan tentang tawakkal, dan beliau
memilih Syekh Abdul Qadir Jaylani sebagai suri-teladannya.
Seorang yang benar-benar tawakkal mempunyai 3 tanda. Pertama, ia tidak
takut ataupun mengharapkan sesuatu kepada selain Allah. Kedua, hatinya
tetap tenang dan bening, baik di saat ia membutuhkan sesuatu atau pun
di saat kebutuhannnya itu telah terpenuhi. Ketiga, hatinya tak pernah
terganggu meskipun dalam situasi yang paling mengerikan sekalipun.
Suatu ketika beliau sedang berceramah di suatu majelis, tiba-tiba saja
jatuh seekor ular berbisa yang sangat besar di atas tubuhnya sehingga
membuat para hadirin menjadi panik. Ular itu membelit Syekh Abdul
Qadir, lalu masuk ke lengan bajunya dan keluar lewat lengan baju yang
lainnya. Sedangkan beliau tetap tenang dan tak gentar sedikit pun,
bahkan beliau tak menghentikan ceramahnya. Ini membuktikan bahwa Syekh
Abdul Qadir Jailani benar-benar seorang yang tawakkal dan memiliki
karamah.
Ibnu Rajab juga berkata, "Syekh Abdul Qadir Al Jailani memiliki
pendapat yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir,
dan ilmu-ilmu makrifat yang sesuai dengan sunnah. Beliau memiliki kitab
Al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq, kitab yang terkenal. Beliau juga
mempunyai kitab Futuhul Ghaib. Murid-muridnya mengumpulkan
perkara-perkara yang banyak berkaitan dengan nasehat dari
majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya,
ia berpegang pada sunnah. "
Al-Dzahabi juga berkata, "Tidak ada seorangpun para ulama besar yang
riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syekh
Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak di antara riwayat-riwayat itu yang
tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi."
Wafat
Syekh wafat setelah menderita sakit ringan dalam waktu tidak lama.
Bahkan, ada yang mengatakan, Syekh sakit hanya sehari—semalam. Ia wafat
pada malam Sabtu, 10 Rabiul Awal 561 H. Saat itu usianya sudah
menginjak 90 tahun. Sepanjang usianya dihabiskan untuk berbuat baik,
mengajar, dan bertausiah.
Konon, ketika hendak menemui ajal, putranya yang bernama ‘Abdul Wahhab memintanya untuk berwasiat. Berikut isi wasiat itu:
“Bertakwalah kepada Allah. Taati Tuhanmu. Jangan takut dan jangan
berharap pada selain Allah. Serahkan semua kebutuhanmu pada Allah Azza
wa Jalla. Cari semua yang kamu butuhkan pada Allah. Jangan terlalu
percaya pada selain Allah. Bergantunglah hanya pada Allah.
Bertauhidlah! Bertauhidlah! Bertauhidlah! Semua itu ada pada tauhid.”
Demikian manaqib ini kami tulis, semoga membawa barokah, manfa,at, dan
Ridho allah swt, syafa’at Rosululloh serta karomah Auliyaillah
khushushon Syekh Abdul Qodir Jailani selalu terlimpahkan kepada kita,
keluarga dan anak turun kita semua Dunia – Akhirat. Amien
Diambil dari berbagai sumber
*) Musyahadah : penyaksian langsung. Yang dimaksud ialah penyaksian akan segala kekuasaan dan keadilan Allah melalui mata hati.
**) Nadzir : pembawa ancaman atau
pemberi peringatan. Salah satu tugas terpenting seorang Rasul adalah
membawa beita, baik berita gembira maupun ancaman.
Posting Komentar