Al Khidmah di Tanah Hang Nadim #1

 assalamualaikum WR. WB
para pembaca setia website Al Khidmah Batam, kali ini selaku admin ingin berbagi cerita yang sangat menganggumkan yang merupakan karangan M. najib Yuliantoro. Beliau merupakan jamaah Al Khidmah Surabaya dan penulis. Pada penasaran dengan karangn beliau ? ok langsung saja ...


Kami sudah di Batam. Itulah kata pertama yang terucap saat pesawat Boeing 737-900ER mendarat di Hang Nadim Batam Airport.
Jumat, 16 Maret 2012, kami terbang ke Batam dari Bandar Udara Ahmad Yani Semarang. Sebelum kemudian ke Malaysia, Singapore dan Thailand, kami ingin Batam—yang sudah memiliki jamaah melimpah—turut merasakan gegap gempita hasil Jambore. Bersama Ketua Umum Pengurus Pusat Al Khidmah, Bapak H. Hasanuddin, S.H., kami membawa spirit Jambore untuk melunasi janji di kawasan Asia Tenggara.
Di Batam kami menginap di sebuah hotel milik orang Tionghoa di kompleks Nagoya. Kami bersyukur dapat penginapan di Nagoya. Kata orang sini, sungguh tidak patut jika sudah di Batam, tidak berkunjung ke Nagoya Hill, yang lokasinya hanya 10 menit jalan kaki dari flat kami. Selain Nagoya, Jembatan Barelang—atau orang sering sebut: Jembatan Habibie—adalah situs berharga yang juga patut untuk disambangi.
Ada setidaknya lima kampus yang jadi fokus utama kami. Politeknik Negeri Batam, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Ibnu Sina, STMIK Putera Batam, Universitas Riau Kepulauan dan Universitas Batam. Secara administratif, Al Khidmah Kampus memang belum berdiri di sini. Namun embrio menuju ke arah itu, sudah kami baca sejak kini.
Bukan tanpa rencana, kami datang ke Batam bertepatan dengan Haul Akbar Kota Batam ke-2. Majlis dilaksanakan di Halaman Masjid Mukhtarul Arifin, Perum Taman Cipta Asri, 17 Maret 2012, jam sembilan belas.
Telah hadir Yang Mulia Para Habaib dan Masyayikh, seperti Habib Abdullah Al Haddar, KH. Munir Abdullah, serta Habib dan Kiai yang lain dari Tanah Jawa. Tak ketinggalan tentu saja Tim Manaqib dan Maulid—yang suaranya terkenal renyah dan merdu—dari Pondok Pesantren Al Fitrah Kedinding Surabaya.
Tinggal di Batam, serasa tinggal di Malaysia. Orang sini sebagian besar berdialek melayu. Penduduknya tidak satu etnik. 26.78 % Jawa, 17.61% Melayu, 14.97% Batak, 14.93 Minangkabau, 6.28% Tionghoa, 2.29% Bugis, dan sisanya dari Banjar dan suku lain.
Luas wilayah kurang lebih 1.5 kali luas tanah Singapura. Dahulu, konon, tahun 1970, Pemerintah Jakarta sengaja mempercepat pembangunan di Batam dengan tujuan: ingin menjadikan Batam sebagai “Singapore”-nya Indonesia. Penduduknya saat itu hanya 6000 orang. Namun, selepas 40 tahun lebih berjalan, penduduknya melonjak 158 kali lipat. Angka pertumbuhan rata-rata 8 persen per tahun.
Ketika berjalan menelusuri setidaknya di Nagoya, akan segera terlihat, betapa pengaruh Tionghoa dalam geliat perekonomian Batam begitu kuat. Di sepanjang jalan Imam Bonjol Lubuk Baja saja,  kami melihat toko-toko berjejeran dengan huruf Tionghoa. Bandrol harga pun bertuliskan angka Tionghoa.
Sungguh indah ketika kami tahu bahwa Al Khidmah berkembang pesat di pulau Hang Nadim. Entah bagaimana ceritanya, Al Khidmah telah diakui memberi warna tersendiri yang menyejukkan bagi Kota Batam. Mulai dari pengusaha, warga biasa, hingga walikota pun bergabung dengan Al Khidmah. Menjadi tidak genap jika semangat Jambore yang begitu hidup di Jogja, tidak turut dirasakan oleh pemuda dan mahasiswa Al Khidmah Batam.
Batam datang mengambil peran sebagai wadah dialektika perbedaan. Al Khidmah datang untuk memperteguh indahnya hidup berdialektika dalam bhineka. Lewat cara ini, Al Khidmah diharapkan mampu menjadi “oase” di gurun Batam. Lewat cara ini, Al Khidmah dapat menjadi sumber mata air ketenangan dan keteduhan.
sumber : http://nagueb.wordpress.com/2012/03/17/al-khidmah-di-tanah-hang-nadim-1/

Batam, 17 Maret 2012